Senin, 23 November 2015

Standar Internasional

Standar Internasional adalah standar yang dikembangkan oleh badan standarisasi internasional yang diterapkan diseuruh dunia. Standar ini dapat digunakan secara langsung atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Adopsi standar internasional oleh suatu negara dapat menghasilkan standar nasional yang setara dan secara substansial mirip dengan standar internasional yang dijadikan sumber. Organisasi penerbit standar internasional paling terkemuka adalah International Organization for Standardization dan contoh standar internasional yang sudah dipakai oleh Indonesia (melalui Badan Standardisasi Nasional) adalah ISO 9000.
Standardisasi internasional dibentuk untuk berbagai teknologi yang mencakup berbagai bidang, antara lain bidang informasi dan telekomunikasi, tekstil, pengemasan, distribusi barang, pembangkit energi dan pemanfaatannya, pembuatan kapal, perbankan dan jasa keuangan, dan masih banyak lagi. Hal ini akan terus berkembang untuk kepentingan berbagai sektor kegiatan industri pada masa-masa yang akan datang. Perkembangan ini diperkirakan semakin pesat antara lain karena kemajuan dalam perdagangan bebas di seluruh dunia, penetrasi teknologi antar sektor, sistem komunikasi di seluruh dunia, dan standar global untuk pengembangan teknologi, serta pembangunan di negara-negara berkembang.

Standardisasi internasional adalah suatu kenyataan yang diperlukan di dalam suatu sektor industri tertentu bila mayoritas barang dan jasa yang dihasilkan harus memenuhi suatu standar yang telah dikenal. Standar seperti ini perlu disusun dari kesepakatan-kesepakatan melalui konsensus dari semua pihak yang berperan dalam sektor tersebut, terutama dari pihak produsen, konsumen, dan seringkali juga pihak pemerintah. Mereka menyepakati berbagai spesifikasi dan kriteria untuk diaplikasikan secara konsisten dalam memilih dan mengklasifikasikan barang, sarana produksi, dan persyaratan dari jasa yang ditawarkan.

        Secara umum tujuan  penyusunan standar internasional adalah untuk memfasilitasi perdagangan, pertukaran, dan alih teknologi melalui peningkatan mutu dan kesesuaian produksi pada tingkat harga yang layak, peningkatan kesehatan, keamanan dan perlindungan lingkungan, dan pengurangan limbah, kesesuaian dan keandalan inter-operasi yang lebih baik dari berbagai komponen untuk menghasilkan barang maupun jasa yang lebih baik, dan penyederhanaan perancangan produk untuk peningkatan keandalan kegunaan barang dan jasa, serta peningkatan efisiensi distribusi produk dan kemudahan pemeliharaannya. Harapannya, pengguna (konsumen) lebih percaya pada barang dan jasa yang telah mendapatkan jaminan sesuai dengan standar internasional. Jaminan terhadap kesesuaian tersebut dapat diperoleh baik dari pernyataan penghasil barang maupun melalui pemeriksaan oleh lembaga independen.

Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_internasional
https://sites.google.com/site/kelolakualitas/sertfikasi-standard-kualitas-internasional

Persatuan Insinyur Indonesia


Persatuan Insinyur Indonesia (PII) adalah organisasi yang berdiri sejak Tahun 1952 didirikan oleh Bapak Ir. Djuanda Kartawidjaja dan Bapak Ir. Rooseno Soeryohadikoesoemo  di Bandung, merupakan organisasi profesi tertua kedua di Indonesia setelah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam sejarahnya PII telah banyak menelurkan cendekiawan-cendekiawan dan profesional-profesional yang memegang peranan penting di tanah air kita dalam beberapa dekade ini. PII di dalam menjalankan proses kaderisasi insinyur melalui continuous development program (CPD)yang isi programnya selain berisikan pengetahuan keinsinyuran (sains dan teknologi) juga menitikberatkan pada pengenalan dan pemantapan pembahasan mengenai ‘etika profesi Insinyur’. Sarjana Teknik diharapkan setelah menjadi Anggota PII diwajibkan memegang teguh etika profesi keinsinyuran yang dituliskan dalam Kode Etik Insinyur Indonesia.



Persatuan Insinyur Indonesia merupakan wadah berhimpunnya para Insinyur Indonesia, untuk secara bersama meningkatkan kemanfaatannya bagi bangsa dan negara, serta penguasaan, pengembangan serta pemberdayaan iptek dan kompetensi, untuk nilai tambah kesejahteraan umat manusia pada umumnya, khususnya rakyat Indonesia.
Dengan adanya wadah ini di harapkan banyak pemikiran pemikiran baru demi perkembangan dunia konstruksi di Indonesia dan dengan adanya organisasi tentunya bertujuan menjadi organisasi profesi keinsinyuran secara nasional yang memiliki kesetaraan dan diakui internasional. Memupuk profesionalisme korsa Insinyur Indonesia, meningkatkan jiwa serta semangat persatuan nasional dalam mendarma baktikan kompetensinya kepada kepentingan bangsa dan negara melalui peningkatan nilai tambah perwujudan cita-cita bangsa. Meningkatkan kepedulian dan tanggap profesional terhadap permasalahan, tantangan, serta peluang pembangunan daerah/nasional melalui optimasi pemberdayaan kompetensi professional secara integratif, mendorong profesionalisme dalam penguasaan, pengembangan, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya dan khususnya rakyat Indonesia.


Sumber:
http://habibierazak.com/2013/08/kode-etik-insinyur-indonesia-dan-seberapa-jauh-pengaruhnya-terhadap-profesi-keinsinyuran-dan-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara/

https://trinela.wordpress.com/2009/04/28/persatuan-insinyur-indonesia/

Rabu, 04 November 2015

Etika Profesi

Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam menjalankan kehidupan sebagai pengemban profesi. Etika profesi juga merupakan sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama, (Anang Usman, SH., MSi.).
Prinsip dasar di dalam etika profesi :
1.      Tanggung jawab
§  Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
§  Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2.      Keadilan.
3.      Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
4.      Prinsip Kompetensi, melaksanakan pekerjaan sesuai jasa profesionalnya, kompetensi dan ketekunan
5.      Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan reputasi profesi
6.      Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi
7.       
Etika profesi diperlukan dalam bidang keteknikan yaitu untuk perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat dan lingkungannya. Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari seorang tenaga ahli profesi. Dalam rangka menjunjung tinggi integritas, kehormatan dan martabat profesi keteknikan sesuai dengan kode etika profesi keteknikan menurut ABET terdapat 4 (empat) prinsip dasar (fundamental principles) yang harus dilakukan oleh insinyur, yaitu:
a.       Menggunakan keterampilan dan pengetahuan para orang teknik untuk peningkatan kesejahteraan manusia.
b.      Menjadi tidak berat sebelah dan bersikap jujur, melayani dengan ketepatan publik, serta pemberi kerja dan klien para orang teknik.
c.       Bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan wewenang.
d.      Mendukung profesional dan masyarakat yang teknis dari disiplin.

Tujuan dari proses pembelajaran etika profesi keteknikan pada dasarnya adalah agar mampu menerapkan etika-etika yang semestinya dilakukan dalam berprofesi sehari-hari, secara umum tujuan-tujuan pembelajaran etika profesi keteknikan adalah sebagai berikut:
·       Menjunjung tinggi martabat profesi; dengan mempelajari etika profesi keteknikan, diharapkan para pelaku profesi lebih bersikap arif dalam menjaga nama baik profesinya.
·       Menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota; pemahaman tentang etika profesi keteknikan diharapkan mampu menjaga kesejahteraan para anggota profesinya dengan cara tidak sewenang-wenang dalam bertindak.
·      Meningkatkan pengabdian para anggota profesi; pengabdian bukanlah hal yang dipaksakan, melainkan dilakukan dengan penuh kesadaran, oleh sebab itu bila sudah mempelajari dan memahami etika profesinya, diharapkan para pelaku profesi dapat mengabdi dengan baik pada profesinya masing-masing.
·       Meningkatkan mutu profesi; jika setiap pelaku profesi menjalankan profesinya dalam koridor etika profesi yang semestinya, maka mutu profesi juga otomatis akan meningkat.
·     Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat; pemahaman dan pengamalan etika profesi akan mendukung terciptanya organisasi profesional yang kuat.

Sumber: 
http://m-roiful.blogspot.co.id/2014/10/tugas-3-pengertian-etika-profesi.html
https://okesofyan.wordpress.com/category/etika-profesi/

Minggu, 03 Mei 2015

Standar Operasional Prosedur Mesin Cetak

Operator atau teknisi yang bertugas mengoperasikan jalannya mesin cetak (khususnya pada mesin cetak offset), memegang peranan yang amat penting dalam industri jasa cetak. Operator dalam melaksanakan tugasnya, bertanggungjawab untuk berkerja dan menghasilkan sesuai standard yang berlaku atau diberlakukan dalam suatu industri percetakan.
Seorang operator cetak harus memperhatikan beberapa hal dalam menjalankan tugasnya, yakni

1. Bekerja secara standard.
Yaitu bekerja sesuai dengan ketentuan / ketetapan yang sudah ditetapkan oleh pihak otoritas / penguasa, sebagai aturan untuk merujuk pada ukuran, kualitas, berat, luas, nilai, waktu atau juga kuantitas. Tujuannya adalah :

a. Agar terukur,  dengan nilai ukur yang merupakan data teknis produksi, maka pelaksanaan proses produksi akan dimudahkan oleh adanya data ukur,  lebih-lebih model atau order yang dicetak ulang.
b. Agar berkualitas, artinya bahwa produk yang dihasilkan, dengan nilai kualitas yang standard, maka produk akan memiliki tingkatan kualitas yang sama.
c. Agar bisa diterima, artinya bahwa suatu produk yang sudah melalui standardisasi, hasil produknya pada tingkat kualitas tertentu dapat diterima oleh pelanggan.
d. Agar timbul rasa puas, artinya bahwa dengan kualitas yang semakin meningkat dan  stabil, maka akan dapat menimbulkan rasa puas pada pihak pelanggan.

2. Standard Operasional cetak bagi para operator, mencakup berbagai aspek, mulai dari pengadaan bahan, sistem pengelolaan produksi sampai kepada kondisi SDM (Sumber Daya Manusia) baik pada SDM Administrasi Teknis maupun SDM Teknis Produksi cetaknya. Kegiatan standard operasi cetak itu sendiri diawali dari menerima SPK Produksi yang diterbitkan oleh PPIC (Planning, Production Inventory Control), sampai pada penyerahan barang hasil cetak kepada pelanggan.
Dokumen pendukung didalam menjalankan standard operasional produksi cetak meliputi berbagai macam dokumen, seperti :

•  Surat Perintah Kerja (SPK) Produksi;
•  Materi order dan cetak coba/proof print;
•  Standard acuan kualitas;
•  Instruksi kerja cetak;
•  Check list cetak, dan
•  Laporan produksi cetak.

Bentuk dan sistem dokumentasi standard operasional produksi disetiap perusahaan berbeda, namun pada hakekatnya tujuan penggunaan sistem itu adalah sama, yaitu agar proses produksi berjalan sesuai dengan rencana, yang akhirnya produksi dapat dilakukan dengan tepat waktu  dan tepat mutu.
Dalam melaksanakan tugas standardisasi operasional cetak itu menuntut SDM memenuhi berbagai persyaratan, seperti :

•  Kompetensi keahlian;
•  Pengalaman sesuai dengan bidang tugasnya;
•  Pelatihan teknis untuk menambah wawasan & pengenalan teknologi baru;
•  Pelatihan mental/attitude untuk meningkatkan kepedulian dan kerjasama;
•  Sistem dan prosedur yang jelas;
•  Peraturan perusahaan yang tegas, jelas dan bertanggung jawab.

Perlu ditekankan bahwa tanggung jawab pencapaian kualitas produksi cetak tidak saja menjadi tanggung jawab pimpinan tertinggi atau pimpinan dibidang pengendali kualitas, akan tetapi setiap unsur organisasi turut bertanggung jawab pada pencapaian kualitas cetak (everyone is quality control). Oleh karena itu untuk menjamin kelangsung produksi dan kelangsungan perusahaan, maka perlu ditetapkan penempatan SDM menggunakan sistem “the right man on the right job”  artinya penempatan seseorang dengan kemampuannya disesuaikan dengan jenis tugas dan tanggung jawabnya.

3. Tugas dan tanggung jawab Operator Cetak
Untuk mengoptimalkan pelaksanaan proses produksi cetak, maka perlu ditetapkan tugas dan tanggung jawab setiap operator cetak, sehingga dengan penetapan ini perhatian operator akan terfokus pada tugasnya, meliputi :

a. Memahami Surat Perintah Kerja (SPK), mencakup :

•  Bahan baku yang dipakai (kertas, tinta cetak, pelat dan bahan bantu);
•  Mesin cetak yang dipakai (mesin cetak offset lembaran atau gulungan);
•  Konfigurasi warna order (4/0; 4/1; 4/2; 4/4 atau ....);
•  Jumlah katern atau halaman;
•  Oplah;
•  Deadline produksi.
b. Memahami dan melaksanakan Sistem Manajemen, adalah suatu nilai, batasan, parameter yang dijadikan acuan proses produksi, sehingga akan menghasilkan produk sesuai dengan standard atau yang diinginkan.
     Oleh karena itu semua keputusan dan kesepakatan serta comitmnet manajemen harus dijalankan dengan sungguh-sungguh tidak setengah hati.
c. Memahami dan melaksanakan Instruksi Kerja dan Check List Produksi. Kedua aspek itu penting untuk dilaksanakan karena, instruksi kerja merupakan petunjuk spesifik/khusus untuk mengoperasikan sebuah alat mesin produksi. Sedangkan check list produksi merupakan suatu form yang berisi tentang kepastian status kesiapan komponen alat/mesin saat persiapan produksi (check list ini silakukan sebelum proses produksi).
d. Membuat dan memahami Laporan Produksi Cetak, merupakan catatan laporan hasil kerja produksi yang mencakup tentang :
•  Spesifikasi produk sesuai dengan SPK;
•  Waktu yang dipergunakan untuk produksi;
•  Macam/jenis bahan baku dan jumlah pemakaian;
•  Jumlah kerusakan / waste yang ditimbulkan selama proses produksi;
•  Analisa permasalahan produksi.
e. Melaksanakan program 5 R (Rapi, Ringkas, Resik, Rawat dan Rajin), serta memperhatikan dan melaksanakan Program K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Kedua program diatas sangat penting bagi suatu industri percetakan, karena dengan menjalankan program 5R akan dapat meningkatkan semangat bekerja. Sedangkan dengan melaksanakan program K3 akan dapat menjamin keselamatan para karyawan, sehingga kecelakaan yang fatal yang dapat berakibat tidak baik bagi karyawan dapat dihindari.

4. Kualitas Pelat Cetak
Untuk menghasilkan cetakan dengan mutu yang baik, maka pelat cetak harus memenuhi kriteria dan persyaratan teknis. Oleh karena itu operator cetak  pada saat menerima pelat cetak dari bagian pra-cetak dan sebelum memasangnya pada silnder pelat, harus diperiksa tentang beberapa hal, seperti :

•  Presisi/ketepatan ukuran (panjang, lebar, tebal), yang disesuaikan dengan spesifikasi teknis mesin cetaknya;
•  Kelengkapan alat pengendali, seperti: grey scale, color control srip, dll;
•  Presisi kesikuan, untuk menjamin pemasangan pelat dengan baik;
•  Kekuatan emulsi. Penting bagi operator cetak untuk mengetahui pelat yang dipakai ini termasuk pada golongan : short run, medium run atau long run.
•  Kebersihan non-image area. Non-image yang bersih akan menjamin sempurnanya pengambilan air pembasah selama proses produksi, sehingga kualitas cetak yang baik akan tercapai;
•  Penampakan titik raster. Penting untuk diketahui dan diperiksa dengan teliti kesempurnaan penampakan besarnya titik raster, karena tebal tipisnya tinta sangat ditentukan oleh besar kecilnya titik raster, oleh karena itu agar dilihat penampakan titik 2% masih terlihat baik.

5. Kualitas Kertas Cetak
•  Agar diperhatikan terhadap kertas gulungan (web), terhadap: gramatur, ukuran lebar gulungan, opasitas (daya tembus pandang), daya serap tinta, daya serap air, kestabilan warna, kekuatan tarik (tensile srength), porosity (kondisi permukaan), kekuatan robek (tearing strength), kelembaban dan presisi ukuran potong.
•  Untuk kertas lembaran (sheet), mencakup: gramatur, ketebalan, opasitas, daya serap tinta, daya serap air, kestabilan warna, tensile strength, porosity, tearing strength, kelembaban, presisi ukuran potong.

6. Kualitas Air Pembasah
Disatu sisi air pembasah memegang peranan yang sangat penting didalam teknik cetak ofset basah, karena dengan air pembasah akan ada pemisahan antara image area dan non-image area. Tetapi disisi yang lain air pembasah merupakan komponen teknis yang akan mendatangkan masalah selama proses produksi, karena itu perlu diwaspadai kondisi air pembasah yang dipergunakan.

Sumber http://www.indonesiaprintmedia.com/cetak-mencetak/137-standard-kerja-operator-cetak.html

Perundang-Undangan K3

Berikut merupakan kumpulan perundang-undangan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Republik Indonesia yang memuat isi sebagai berikut antara lain :

Undang-Undang K3 :

Undang-Undang Uap Tahun 1930 (Stoom Ordonnantie).
Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 203 tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan Pemerintah terkait K3 :

Peraturan Uap Tahun 1930 (Stoom Verordening).
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Peredaran Pestisida.
peraturan Pemerintah No 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.
Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 1979 tentang keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.

Peraturan Menteri terkait K3 :

Permenakertranskop RI No 1 Tahun 1976 tentang Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan.
Permenakertrans RI No 1 Tahun 1978 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Pengangkutan dan Penebangan Kayu.
Permenakertrans RI No 3 Tahun 1978 tentang Penunjukan dan Wewenang Serta Kewajiban Pegawai Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Ahli Keselamatan Kerja.
Permenakertrans RI No 1 Tahun 19879 tentang Kewajiban Latihan Hygienen Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja bagi Tenaga Paramedis Perusahaan.
Permenakertrans RI No 1 Tahun 1980 tentang Keselamatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.
Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan.
Permenakertrans RI No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.
Permenakertrans RI No 1 Tahun 1982 tentang Bejana Tekan.
Permenakertrans RI No 2 Tahun 1982 tentang Kualifikasi Juru Las.
Permenakertrans RI No 3 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja.
Permenaker RI No 2 Tahun 1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatis.
Permenaker RI No 3 Tahun 1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pemakaian Asbes.
Permenaker RI No 4 Tahun 1985 tentang Pesawat Tenaga dan Produksi.
Permenaker RI No 5 Tahun 1985 tentang Pesawat Angkat dan Angkut.
Permenaker RI No 4 Tahun 1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja Serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja.
Permenaker RI No 1 Tahun 1988 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Pesawat Uap.
Permenaker RI No 1 Tahun 1989 tentang Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat.
Permenaker RI No 2 Tahun 1989 tentang Pengawasan Instalasi-instalasi Penyalur Petir.
Permenaker RI No 2 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Permenaker RI No 4 Tahun 1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Permenaker RI No 5 Tahun 1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Permenaker RI No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Permenaker RI No 3 Tahun 1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan.
Permenaker RI No 4 Tahun 1998 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan tata Kerja Dokter Penasehat.
Permenaker RI No 3 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lift untuk Pengangkutan Orang dan Barang.

Keputusan Menteri terkait K3 :

Kepmenaker RI No 155 Tahun 1984 tentang Penyempurnaan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep 125/MEN/82 Tentang Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Wilayah dan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum RI No 174 Tahun 1986 No 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
Kepmenaker RI No 1135 Tahun 1987 tentang Bendera keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Kepmenaker RI No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosis dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.
Kepmenaker RI No 245 Tahun 1990 tentang Hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional.
Kepmenaker RI No 51 Tahun 1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja.
Kepmenaker RI No 186 Tahun 1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja.
Kepmenaker RI No 197 Thun 1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya.
Kepmenakertrans RI No 75 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) No SNI-04-0225-2000 Mengenai Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000) di Tempat Kerja.
Kepmenakertrans RI No 235 Tahun 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak.
Kepmenakertrnas RI No 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

Instruksi Menteri terkait K3 :

Instruksi Menteri Tenaga Kerja No 11 Tahun 1997 tentang Pengawasan Khusus K3 Penanggulangan Kebakaran.

Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan terkait K3 :

Surat keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja RI No 84 Tahun 1998 tentang Cara Pengisian Formulir Laporan dan Analisis Statistik Kecelakaan.
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan No 407 Tahun 1999 tentang Persyaratan, Penunjukan, Hak dan Kewajiban Teknisi Lift.
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan No 311 Tahun 2002 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Teknisi Listrik.

Sumber: http://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/11/kumpulan-perundang-undangan-k3.html?m=1

Jumat, 27 Maret 2015

K3 (Keamanan, Kesehatan dan Keselamatan kerja)


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut. Keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan suatu usaha untuk mencegah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat, yang dapat mengakibatkan kecelakaan.

Undang-Undang yang mengatur mengenai K3
Undang-Undang yang mengatur K3 adalah sebagai berikut :
  • Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan kerja.
  • Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang- Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan berkewajiban memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan dipindahkan ke tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sebaliknya para pekerja juga berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD) dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.  Undang-undang nomor 23 tahun 1992, pasal 23 Tentang Kesehatan Kerja juga menekankan pentingnya kesehatan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya hingga diperoleh produktifitas kerja yang optimal. Karena itu, kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja.
  • Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak maternal, cuti sampi dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Sebagai penjabaran dan kelengkapan Undang-undang tersebut, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden terkait penyelenggaraan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), diantaranya adalah :
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
  • Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida
  • Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan
  • Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Akibat Hubungan Kerja
Berdasarkan Undang-undang Jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja itu diperuntukkan bagi seluruh pekerja yang bekerja di segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Jadi pada dasarnya, setiap pekerja di Indonesia berhak atas jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.
Kewajiban dan hak dari tenaga kerja berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menurut pasal 12 UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, kewajiban dan hak tenaga kerja adalah sebagai berikut :
  • Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja
  • Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan
  • Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan
  • Meminta pada Pengurus agas dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan
  • Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.
Tugas pengurus/pengawas dalam hal keselamatan dan kesehatan kerja
Yang perlu diketahui pertama adalah Pengurus/Pengawas merupakan orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Berdasarkan pasal 8, 9, 11 dan 14 Undang - Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pengurus bertanggung jawab untuk :
  • Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat - sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
  • Memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur
  • Menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang :
    • Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam tempat kerjanya
    • Semua pengamanan dan alat - alat perlindungan yang diharuskan dalam semua tempat kerjanya
    • Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan
    • Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya
  • Bertanggung jawab dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama dalam kecelakaan.
  • Melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
  • Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesehatan kerja
Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai K3
Dalam Perjanjian Kerja Bersama  akan dikaji hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan upah, keselamatan dan kesejahteraan  karyawan.  Perusahaan dan setiap pekerja harus sadar sepenuhnya bahwa K3 adalah kewajiban dan tanggung jawab bersama.  PKB biasanya akan mengatur mengenai hak dan kewajiban dari para karyawan dalam hal K3 sebagai mana PKB juga akan mengatur mengenai hak dan kewajiban perusahaan. Dalam Perjanjian Kerja Bersama juga tertulis sanksi-sanksi yang diberikan apabila salah satu dari kedua belah pihak melanggar PKB.

Kendala-kendala yang biasa dihadapi dalam pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama dalam hal penerapan K3

  • Pemahaman karyawan mengenai isi Perjanjian Kerja Bersama.
Cara mengatasi perlunya pembinaan atau koordinasi dan sosialisasi antara pengurus Serikat Pekerja dengan para pekerja melalui musyawarah
  • Penanganan keselamatan kerja tidak optimal
Cara mengatasi adalah apabila terjadi kecelakaan berarti tindakan pecegahan tidak berhasil, maka pihak manajemen perusahaan mempunyai kesempatan untuk mempelajari apa yang salah.
  • Kebijakan perusahaan yang tidak tegas.
Cara mengatasi adanya tindakan yang tegas apabila terjadi ketidakdisiplinan pegawai dalam bekerja.